[Bahasa translation below]

For over 50 years, Indonesia has been promising West Papua ‘autonomy’. Each time, underneath autonomy lies only bullets and killings. As the 2001 Special Autonomy law expires this year, the United Liberation Movement and all the people of West Papua are united in rejecting Indonesian-controlled ‘autonomy’. There is only one solution to our problem: an independence referendum.

In 1969, after the fake ‘vote’ to legitimate Indonesia’s colonisation of West Papua, Indonesia promised we would be an autonomous region within Indonesia.

As an ‘autonomous’ region for the next 30 years, hundreds of thousands of West Papuans, including most of my family, were killed by the Indonesian military and police. From the brutal military operations in the Papuan highlands of 1977-81 (‘Operation Koteka’ and ‘Operation Clean Sweep’) to the mass killing, rape and torture of hundreds on Biak Island in 1998, this fake ‘autonomy’ for us meant one thing: genocide.

At the turn of the millennium, the West Papuan people came out peacefully and demanded their right to self-determination after 30 years of bloodshed. In response, the Indonesian State developed the 2001 ‘Special Autonomy’ law (‘otsus’). Indonesia promised to West Papuans and the international community that they would facilitate development and democracy in West Papua, and reassess the outcome in 20 years.

We now know the outcome. Under this so-called Special Autonomy, we have only been further killed, marginalised and ethnically cleansed. Our environment and way of life has been destroyed in an unrelenting ecocide – our mountains have been mined, our rivers polluted, our forests torn down. We completely reject the ‘autonomy’ and ‘development’ carried out by an illegal colonial occupation.

Under Special Autonomy, we witnessed the 2014 Paniai Massacre of four Papuan school boys. We suffered the invasion of Nduga and the murder of over 200 West Papuans in 2019-2020. We have felt the crushing of the 2019 West Papua Uprising, with six unarmed demonstrators shot dead as they hid in public buildings in Deiyai, sixteen thousand additional Indonesian troops deployed and our internet cut off. Even Indonesia’s own Special Autonomy institutions like the MRP have rejected Special Autonomy.

The position of the United Liberation Movement is clear. Indonesia cannot build development on top of mass killings. The only autonomy that exists is the autonomy of Indonesian military and police to kill. There is only one just, democratic and feasible solution for West Papua: our right to self-determination, exercised through a referendum on independence.

In New Caledonia, South Sudan and Bougainville, the French, Sudanese and PNG governments made a timeline with the liberation groups to implement a referendum. Indonesia has never reached any understanding with the representatives of the people of West Papua.

We issued six demands for the Indonesian government in October last year. We have never received a response. Now, Indonesia must immediately arrange a referendum, mediated by third party international states and institutions, on independence for West Papua. This call is governed by the sovereign democratic will of the people of West Papua, expressed in the 2017 petition signed by 1.8 million of us.

A referendum is a just solution for the people of West Papua, for Indonesian migrants in West Papua, for our regional neighbours in the Pacific, and for the international community. International states and institutions, particularly the EU, World Bank, United States, Britain, New Zealand and Australia, must stop funding Indonesian occupation forces and ‘development’ projects and help address the root causes of the conflict in accordance with the call of 79 countries in the African, Caribbean and Pacific Group of States.

To my people: your destiny is in your hands. Your decisions today will set West Papua on its path for generations to come. Whether you are Indigenous West Papuan or an Indonesian migrant, it is time for us to come together to reject Jakarta’s lies and stand united for the only solution: a REFERENDUM and INDEPENDENCE.

Benny Wenda
Chairman
ULMWP


Ketua ULMWP: Satu-satunya solusi untuk Papua Barat adalah referendum, bukan ‘otonomi’

Selama 50 tahun, Indonesia terus menjanjikan ‘otonomi’ untuk Papua Barat, dan selama itu ‘otonomi’ dijalankan dengan penuh kebohongan, dan berlandaskan peluru dan pembunuhan rakyat Papua Barat. Dengan habis berlakunya UU tahun 2001 tentang otonomi khusus (otsus), ULMWP dan seluruh rakyat Papua Barat bersatu menentang ‘otonomi’ yang dikontrol oleh pemerintahan Indonesia. Hanya ada satu solusi untuk permasalahan kita, yakni referendum untuk menentukan kemerdekaan Papua Barat.

Pada tahun 1969, setelah proses ‘PEPERA’ palsu yang digunakan sebagai cara melegitimasi penjajahan Indonesia di Papua, rakyat Papua Barat dijanjikan oleh pemerintah Indonesia bahwa Papua Barat akan diberikan status sebagai daerah dengan otonomi.

Setelah diberikan status ‘otonomi’ ini, rakyat Papua Barat ditindas selama 30 tahun. Ratusan ribu rakyat Papua Barat, termasuk sebagian besar keluarga saya, dibunuh oleh militer dan polisi Indonesia. Dari operasi militer brutal di dataran tinggi Papua dari tahun 1977 – 1981 (Operasi ‘Koteka’ dan Operasi ‘Kikis’), sampai pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan massal yang terjadi di Biak pada tahun 1998, ‘otonomi’ palsu ini digunakan untuk menutupi suatu genosida besar-besaran.

Dengan bergulirnya milenium baru, rakyat Papua Barat dengan damai menuntut hak mereka untuk menentukan nasib sendiri setelah penindasan selama 30 tahun itu. Menanggapi ini, pemerintah Indonesia mengembangkan UU 2001 tentang Otsus. Pemerintah Indonesia berjanji kepada rakyat Papua Barat dan dunia internasional bahwa mereka akan memfasilitasi pembangunan dan demokrasi di Papua Barat, dan kemudian akan meninjau kembali perkembangan di Papua Barat setelah 20 tahun.

Sekarang, kita semua tahu apa hasil dari proses ‘otonomi’ dan ‘pembangunan’ ini. Di bawah ‘otsus’ ini, rakyat Papua Barat terus dibunuh, dipinggirkan dan disingkirkan. Lingkungan hidup, dan juga cara hidup tradisional rakyat Papua Barat, terus dihancurkan dalam sebuah proses ecocide. Gunung-gunung, sungai-sungai dan hutan-hutan di Papua Barat dimakan oleh tambang, dikeruhkan oleh polusi, dan dibabat habis. Kami, rakyat Papua Barat, dengan sepenuh hati menolak ‘otonomi’ dan ‘pembangunan’ yang diberikan oleh suatu pemerintahan kolonial yang menduduki tanah Papua secara ilegal.

Di bawah bayang-bayang otsus ini, kita semua menyaksikan pembunuhan empat anak sekolah di Paniai pada tahun 2014. Kita menyaksikan invasi Nduga dan pembunuhan lebih dari 200 rakyat Papua Barat pada tahun 2019-2020. Kita bersama-sama merasakan penghancuran gerakan protes di Papua Barat pada tahun 2019, di mana enam pendemo damai ditembak mati saat bersembunyi di gedung-gedung umum di Deiyai. Kita juga melihat ditempatkannya enam belas ribu tentara tambahan dari Indonesia, dan diputusnya internet di Papua Barat. Bahkan organisasi-organisasi yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia selama masa otsus, seperti MRP, juga menolak pembaharuan UU ini.

Posisi ULMWP sangat jelas. Indonesia tidak bisa melaksanakan ‘pembangunan’ di Papua di atas pembunuhan massal dan mayat rakyat Papua Barat. Satu-satunya ‘otonomi’ yang berlaku di Papua Barat adalah ‘otonomi’ TNI dan polisi Indonesia untuk membunuh rakyat Papua. Hanya ada satu solusi yang adil, demokratis dan layak untuk Papua Barat: dipenuhinya hak rakyat Papua untuk menentukan pendapat sendiri melalui referendum untuk menentukan kemerdekaan Papua Barat.

Di Kaledonia Baru, Sudan Selatan dan Bougainville, pemerintahan Perancis, Sudan dan Papua Nugini memberikan jadwal yang jelas kepada kelompok-kelompok pro-kemerdekaan untuk melaksanakan referendum kemerdekaan. Indonesia belum pernah mencapai suatu persetujuan dengan perwakilan rakyat Papua.

ULMWP memberikan enam tuntutan kepada pemerintah Indonesia pada bulan Oktober tahun lalu. Sampai sekarang, kami belum mendapatkan jawaban dari mereka. Sekarang, Indonesia harus secepatnya melaksanakan suatu referendum untuk menentukan kemerdekaan Papua Barat, yang dimediasi oleh dunia internasional. Tuntutan ini adalah berdasarkan kehendak dan kedaulatan rakyat Papua Barat, seperti yang ditunjukkan dalam petisi yang diedarkan pada tahun 2017, yang ditandatangani oleh 1,8 juta rakyat Papua Barat.

Referendum adalah solusi yang adil untuk rakyat Papua Barat, pendatang dari Indonesia di Papua Barat, negara tetangga dan sahabat di kawasan Pasifik, dan juga untuk dunia internasional. Negara-negara dan organisasi dunia seperti Uni Eropa, Bank Dunia, Amerika Serikat, Inggris, Selandia Baru dan Australia harus berhenti mendanai tentara pendudukan Indonesia dan proyek-proyek ‘pembangunan,’ dan bergabung bersama dengan 79 negara di Kelompok Daerah Afrika, Karibia dan Pasifik yang menuntut penyelesaian akar permasalahan konflik di Papua Barat.

Kepada semua rakyat Papua Barat: nasibmu ada di tanganmu. Saat ini, tindakanmu akan menentukan jalan Papua Barat dan nasib generasi yang akan datang. Bisa jadi anda adalah penduduk asli Papua Barat, atau pendatang dari Indonesia. Tetapi, apapun latar belakang anda, marilah kita semua bersatu untuk menolak kebohongan yang datang dari Jakarta, dan bersama-sama mendukung satu-satunya solusi untuk Papua Barat: referendum.

Benny Wenda
Ketua
ULMWP